Selasa, 06 Maret 2012

GURU TELADAN

Peran guru dalam implementasi/pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak mudah. Guru dituntut menjadi figur: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ungkapan ini, menurut Ki Hajar dewantara diartikan sebagi sikap pimpinan (guru) harus mampu memberi teladan kepada murid-muridnya, seperti bertindak jujur dan adil. Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada murid untuk belajar keras. Guru juga perlu untuk memberikan kepercayaan kepada muridnya untuk mempelajari sesuatu sesuai minat dan kemampuannya. Guru tinggal merestui dan mengarahkan saja.
Pendek kata, guru hendaknya menjadi garda (garis depan), memberi contoh, menjadi motivator, dalam penanaman budi pekerti. Sering ada pepatah yang menyinggung pribadi guru, yaitu sebagai figur yang harus digugu (dianut) dan ditiru. Inilah figur ideal yang didambakan setiap bangsa. Figur inilah yang menghendaki seorang guru perlu menjadi suri teladan dalam aplikasi pendidikan budi pekerti. Jika guru sekedar bisa ceramah atau omong kosong saja, kemungkinan besar anak akan kehilangan teladan.
Sikap dan tindakan guru, langsung ataupun tidak langsung akan menjadi acuan dan contoh murid-muridnya. Kalau begitu, budi pekerti guru harus juga mencerminkan pribadi luhur yang ideal.
Untuk itu, dalam tulisan ini akan diungkap karakteristik guru ideal yang bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Berdasarkan citra guru ideal itu, murid-murid akan belajar budi pekerti. Jika seorang guru sampai berbuat yang menyimpang dari kriteria tersebut, berarti murid akan semakin kacau balau. Hal ini menunjukkan manakala seorang guru memberikan teladan yang buruk, murid-murid akan semakin runyam keberadaannya. Karena itu, guru harus menjadi potret budi pekerti yang luhur, agar murid-muridnya semakin berakhlak baik. Ahmad Syauqi berkata: “Jika guru berbuat salah sedikit saja, akan lahirlah siswa-siswa yang lebih buruk darinya.”

Karakteristik Guru Teladan

Saya sudah mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna, pernah berbuat salah, khilaf ataupun dosa. Begitu juga dengan seorang guru, ia juga manusia biasa seperti yang lainnya. Namun, ketika guru melakukan sebuah kesalahan atau kekhilafan maka respon masyarakat akan lebih besar bila dibandingkan dengan yang lain. Mungkin akan terucap: “Guru saja sudah berbuat seperti itu, apalagi yang lain.”
Hal ini terjadi, karena pada dasarnya guru itu adalah teladan bagi murid-muridnya dan juga yang lain untuk mewujudkan hal-hal yang baik. Dengan demikian, bagi para guru harus senantiasa hati-hati agar senantiasa terpelihara dari perbuatan yang tidak baik.
Untuk bisa menjadi teladan, maka ada beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan sebagaimana diungkap oleh Mahmud Samir al-Munir dalam bukunya al-Mu’allimur Rabbany-Guru Teladan.
Pertama, Karakteristik Akidah, Akhlak dan Prilaku, yaitu: Guru harus mempunyai akidah yang bersih dari hal-hal yang bertentangan dengannya. Senantiasa merasa diawasi oleh Allah swt. (muraqabah) dimanapun berada, melakukan koreksi diri (muhasabah) atas kelalaian dan kesalahan. Menanamkan sikap tawadhu’ (rendah hati), jangan sampai timbul perasaan ujub danghurur, karena orang yang tawadhu’ akan diangkatkan derajatnya oleh Allah Swt. Guru harus berakhlak mulia, berkelakuan baik, dan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan hal itu, baik di dalam maupun di luar kelas. Mampu mengatur waktu dengan baik, sehingga tidak ada waktu yag terlewatkan tanpa mendatangkan manfaat duniawi dan ukhrawi. Senantiasa melandaskan niat ibadah kepada Allah ketika mengajarkan ilmu. Tidak semata-mata mengandalkan kemampuan dan usaha belaka dalam mengajar, tetapi juga berdo’a meminta taufiq serta pertolongan dari Allah Swt. Guru harus menjadi teladan siswa-siswa dalam segala perkataan, perbuatan dan prilaku. Guru harus selalu jujur, adil, berkata yang baik, dan memberi nasihat serta pengarahan kepada anak didik. Umar ibn Utbah, berpesan kepada pendidik anaknya: “Hendaknya dalam memperbaiki anakku, kamu perbaiki dirimu dahulu. Mata mereka mengikutimu. Yang baik menurut mereka adalah apa yang kamu perbuat. Dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang kamu tinggalkan.”
Kedua, Karakteristik Profesional. Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Risalah yang diemban guru sangat agung. Seorang guru harus memiliki bekal dan persiapan agar dapat menjalankan profesi dan risalahnya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang guru dan dibutuhkan dalam proses belajar mengajar, yakni sebagai berikut: Menguasai materi pelajaran dengan matang melebihi siswa-siswanya dan mampu memberikan pemahaman kepada mereka secara baik. Guru harus memiliki kesiapan alami (fitrah) untuk menjalani proses mengajar, seperti pemikiran yang lurus, bashirah yang jernih, tidak melamun, berpandangan jauh ke depan, cepat tanggap, dan dapat mengambil tindakan yang tepat pada saat-saat kritis. Guru harus menguasai cara-cara mengajar dan menjelaskan. Dia mesti menelaah buku-buku yang berkaitan dengan bidang studi yang diajarkannya. Sebelum memasuki pelajaran, guru harus siap secara mental, fisik, waktu dan ilmu (materi). Maksud kesiapan mental dan fisik adalah tidak mengisi pelajaran dalam keadaan perasaan yang kacau, malas ataupun lapar. Kesiapan waktu adalah dia mengisi pelajaran itu dengan jiwa yang tenang, tidak menghitung tiap detik yang berlalu, tidak menanti-nanti waktu usainya atau menginginkan para siswa membaca sendiri tanpa diterangkan maksudnya, atau menghabiskan jam pelajaran dengan hal-hal yang tidak ada gunanya bagi siswa. Sedangkan maksud kesiapan ilmu adalah dia menyiapkan materi pelajaran sebelum masuk kelas. Dia menyiapkan apa yang dikatakannya. Sebiasa mungkin, dia menghindari spontanitas dalam mengajar jika tidak menguasai materinya.
Inilah garis besar yang diberikan oleh Mahmud Samir al-Munir, saya kemukakan kembali karakteristik ini adalah sebagai wahana refleksi (renungan) buat kita semua para guru. Untukbisa sempurna 100 % memenuhi karakteristik, saya pikir hal yang mustahil, sebab manusia jauh dari kesempurnaan. Namun, paling tidak ini menjadi tolok ukur untuk terus melakukan yang terbaik buat murid-murid kita ke depan.
Masyarakat secara umum juga harus bijaksana dalam menilai guru, jangan dianggap bahwa guru itu adalah makhluk sacral (tidak pernah berdosa). Untuk itu kesalahan dari seorang guru bukan berarti karirnya yang terakhir sebagai seorang pendidik, guru juga butuh nasehat, kritik yang konstruktif sehingga kesempatan yang ada bisa menjadi wahana perubahan menjadi lebih baik. Wallahu a’lamu. (Diah Widya Ningrum, S.Pd.I : Penulis adalah Guru Madrasah Aliyah Al-Jam’iyatul Washliyah Perbaungan-Serdang Bedagai dan Aktivis Perempuan Perduli Pendidikan Islam.)